Awalnya saya baca
twit teman yang kebetulan nongol di timeline
twitter saya. Kurang lebih begini, “tas favorit saya sudah saya kasih
sama anak teman di kantor, kasian ke sekolah hanya pakai buntelan sarung”
(kalau gak salah). Saya yang membaca twit itu tidak percaya. Zaman digital gini
masih ada juga anak sekolah yang pakai buntelan sarung ke sekolah? Di kepalaku
hal itu rasanya mustahil. Tapi kenyataannya memang sudah seperti itu.
Sebelum bertemu Agung, saya dan
teman-teman ASP sudah lebih dulu bertemu Bapaknya. Kami banyak mendengarkan apa-apa
saja yang Bapak itu ceritakan, tentang keluarganya, anaknya, pekerjaannya. Yah,
kami mendengar sesekali menimpali. Dari bapaknya, info mengenai agung makin
jelas untuk keperluan program ASP. Tapi saat itu kami belum bisa bertemu dengan
anaknya langsung. Kemudian setelah beberapa minggu, saya, Lifa, Dardi dan Budi janjian
untuk silaturahim ke rumah Agung di Desa Sidondo. Jarak dari Kota Palu ke Desa
Sidondo kurang lebih 21 KM.
Hari makin sore, bersama si kecil
Muthia, saya Lifa dan Dardi menjemput Budi di kantornya. Karena yang
tahu banyak tentang Agung ya Budi, termasuk jalan menuju rumahnya di desa Sidondo. Maghrib pun menjelang, kami bertiga mampir di salah satu masjid yang kami lewati untuk melaksanakan sholat maghrib. Sementara lifa dan anaknya, tetap tinggal di mobil karena lifa sedang "izin" tak sholat. Usai sholat kami kembali melanjutkan perjalanan. Rasanya jauh sekali, saya sendiri yang dulu sering melewati jalan itu saat bencana gempa di Kabupaten Sigi tidak bisa menerka-nerka masih seberapa jauh lagi perjalanan ini kami tempuh.
tahu banyak tentang Agung ya Budi, termasuk jalan menuju rumahnya di desa Sidondo. Maghrib pun menjelang, kami bertiga mampir di salah satu masjid yang kami lewati untuk melaksanakan sholat maghrib. Sementara lifa dan anaknya, tetap tinggal di mobil karena lifa sedang "izin" tak sholat. Usai sholat kami kembali melanjutkan perjalanan. Rasanya jauh sekali, saya sendiri yang dulu sering melewati jalan itu saat bencana gempa di Kabupaten Sigi tidak bisa menerka-nerka masih seberapa jauh lagi perjalanan ini kami tempuh.
Mobil terus melaju, sesekali kami
memperhatikan masjid-masjid disebelah kiri. Pasalnya, lorong masuk ke rumah
Agung itu tidak jauh dari masjid yang ada kincir anginnya. Itu satu-satunya
petunjuk yang kami punya. Lorongnya, SEBELAH KIRI dari arah utara, dekat dengan
MASJID YANG ADA KINCIR ANGIN!! Budi yang sengaja kami ajak ternyata juga
lupa-lupa ingat jalan persis menuju rumah Agung. Setelah nyaris masuk di lorong
yang salah, dan bertanya dengan warga sekitar, akhirnya rumahnya ketemu juga. Saya KAGET. Dalam hati, “sepertinya Agung bukan anak yang layak untuk
kami bantu”. Kenapa? Kesan pertama ketika kami masuk ke pakarangan rumahnya, kelihatan mereka
masih tergolong orang yang mampu dan tidak perlu dibantu karena tempat tinggal
mereka lumayan besar.
Kami disambut hangat oleh Ibu Agung.
Saya yang masuk paling akhir, lagi-lagi terkejut melihat meja kecil tepat
sejajar dengan pintu ruang tamunya. Diam-diam saya kagum, dan rasanya ingin
segera bertemu dengan anak yang bernama Agung. Bagaimana tidak, di meja itu
banyak tumpukan buku-buku, termasuk buku bacaan. Saya tanya ke ibunya, “Ini
buku siapa?” sambil menunjuk buku-buku itu, “Punya Agung” jawab ibunya. Kalian
tahu apa yang membuat saya kagum? Di meja itu ada 2 buku tebal tertulis Kitab Tafsir
Ibnu Katsir. Meskipun kitabnya bukan hardcover, tapi saya kagum dengan koleksi
buku anak ini. Mana ada anak zaman sekarang, apalagi anak SMA yang bacaannya tafsir
Ibnu Katsir. Kalau toh ada, minoritas. Bahkan mungkin bisa dihitung dengan
jari.
Setelah ngobrol-ngobrol ringan
dengan ibunya, akhirnya Agung keluar juga. Banyak ‘ternyata-ternyata baru’ yang
saya dapatkan. ‘Ternyata’ yang pertama, rumah yang saat ini ditempati bukan
rumah mereka. ‘Ternyata’ kedua, si Agung kalau tidak punya ongkos pulang dari
sekolah ke rumahnya, biasanya jalan kaki. 21 KM jalan kaki? Kali ini bukan hanya
saya yang kaget, teman-teman saya juga. Dan masih banyak ‘ternyata-ternyata’ lain
yang tak kalah mengagetkan. Seperti, hasil karyanya, prestasinya di sekolah,
termasuk perilaku dia yang cenderung pendiam.
Beberapa kali kami audiensi
langsung ke wakasek kesiswaan sekolahnya, dengan harapan biaya sekolah Agung
menjadi lebih ringan. Hasilnya nihil. Bukan sama sekali tidak dipertimbangkan oleh pihak sekolah,
di mana pun itu, yang namanya dispensasi atau kebijakan itu butuh syarat. Ada syarat-syarat
yang bersifat administratif yang belum bisa Agung penuhi, sehingga Agung tidak
sepenuhnya mendapat kebijakan dari sekolah.
Tunggakan biaya sekolah Agung
lumayan besar. Bukan karena orangtuanya tidak peduli lagi. Tapi memang
kenyataanya secara finansial keluarga ini kurang mampu. Itu baru Agung, belum
lagi ada dua adiknya yang juga masih sekolah.
Alhamdulillah, setelah Dardi
broadcast di beberapa jejaring sosial tentang Agung, banyak dermawan ASP yang membantu
meringankan biaya sekolah Agung. Termasuk juga perlengkapan sekolahnya, sampai
saya sendiri harus cari sepatu, padahal saya sangat tidak ahli cari sepatu
cowok.
Kabar terupdate yang saya dengar,
Agung dapet ranking pertama setelah ujian semester kemarin. Saya berharap,
prestasi itu tidak hanya untuk saat ini saja. Tapi sustainable sampai ketika
dia lulus dari SMK Negeri 3 Palu. Bahkan prestasinya bisa terus berkembang sampai ia
terjun ke dunia nyata, dunia kerja. Semoga. - @nonturomomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan ragu untuk berbagi pikiran. Kami menanti komentar Anda.