Halaman

Jumat, 15 Maret 2013

Tentang Agung

Awalnya saya baca twit teman yang kebetulan nongol di timeline twitter saya. Kurang lebih begini, “tas favorit saya sudah saya kasih sama anak teman di kantor, kasian ke sekolah hanya pakai buntelan sarung” (kalau gak salah). Saya yang membaca twit itu tidak percaya. Zaman digital gini masih ada juga anak sekolah yang pakai buntelan sarung ke sekolah? Di kepalaku hal itu rasanya mustahil. Tapi kenyataannya memang sudah seperti itu.

Sebelum bertemu Agung, saya dan teman-teman ASP sudah lebih dulu bertemu Bapaknya. Kami banyak mendengarkan apa-apa saja yang Bapak itu ceritakan, tentang keluarganya, anaknya, pekerjaannya. Yah, kami mendengar sesekali menimpali. Dari bapaknya, info mengenai agung makin jelas untuk keperluan program ASP. Tapi saat itu kami belum bisa bertemu dengan anaknya langsung. Kemudian setelah beberapa minggu, saya, Lifa, Dardi dan Budi janjian untuk silaturahim ke rumah Agung di Desa Sidondo. Jarak dari Kota Palu ke Desa Sidondo kurang lebih 21 KM.

Hari makin sore, bersama si kecil Muthia, saya Lifa dan Dardi menjemput Budi di kantornya. Karena yang
tahu banyak tentang Agung ya Budi, termasuk jalan menuju rumahnya di desa Sidondo. Maghrib pun menjelang, kami bertiga mampir di salah satu masjid yang kami lewati untuk melaksanakan sholat maghrib. Sementara lifa dan anaknya, tetap tinggal di mobil karena lifa sedang "izin" tak sholat. Usai sholat kami kembali melanjutkan perjalanan. Rasanya jauh sekali, saya sendiri yang dulu sering melewati jalan itu saat bencana gempa di Kabupaten Sigi tidak bisa menerka-nerka masih seberapa jauh lagi perjalanan ini kami tempuh.

Mobil terus melaju, sesekali kami memperhatikan masjid-masjid disebelah kiri. Pasalnya, lorong masuk ke rumah Agung itu tidak jauh dari masjid yang ada kincir anginnya. Itu satu-satunya petunjuk yang kami punya. Lorongnya, SEBELAH KIRI dari arah utara, dekat dengan MASJID YANG ADA KINCIR ANGIN!! Budi yang sengaja kami ajak ternyata juga lupa-lupa ingat jalan persis menuju rumah Agung. Setelah nyaris masuk di lorong yang salah, dan bertanya dengan warga sekitar, akhirnya rumahnya ketemu juga. Saya KAGET. Dalam hati, “sepertinya Agung bukan anak yang layak untuk kami bantu”. Kenapa? Kesan pertama ketika kami masuk ke pakarangan rumahnya, kelihatan mereka masih tergolong orang yang mampu dan tidak perlu dibantu karena tempat tinggal mereka lumayan besar.  

Kami disambut hangat oleh Ibu Agung. Saya yang masuk paling akhir, lagi-lagi terkejut melihat meja kecil tepat sejajar dengan pintu ruang tamunya. Diam-diam saya kagum, dan rasanya ingin segera bertemu dengan anak yang bernama Agung. Bagaimana tidak, di meja itu banyak tumpukan buku-buku, termasuk buku bacaan. Saya tanya ke ibunya, “Ini buku siapa?” sambil menunjuk buku-buku itu, “Punya Agung” jawab ibunya. Kalian tahu apa yang membuat saya kagum? Di meja itu ada 2 buku tebal tertulis Kitab Tafsir Ibnu Katsir. Meskipun kitabnya bukan hardcover, tapi saya kagum dengan koleksi buku anak ini. Mana ada anak zaman sekarang, apalagi anak SMA yang bacaannya tafsir Ibnu Katsir. Kalau toh ada, minoritas. Bahkan mungkin bisa dihitung dengan jari.

Setelah ngobrol-ngobrol ringan dengan ibunya, akhirnya Agung keluar juga. Banyak ‘ternyata-ternyata baru’ yang saya dapatkan. ‘Ternyata’ yang pertama, rumah yang saat ini ditempati bukan rumah mereka. ‘Ternyata’ kedua, si Agung kalau tidak punya ongkos pulang dari sekolah ke rumahnya, biasanya jalan kaki. 21 KM jalan kaki? Kali ini bukan hanya saya yang kaget, teman-teman saya juga. Dan masih banyak ‘ternyata-ternyata’ lain yang tak kalah mengagetkan. Seperti, hasil karyanya, prestasinya di sekolah, termasuk perilaku dia yang cenderung pendiam.

Beberapa kali kami audiensi langsung ke wakasek kesiswaan sekolahnya, dengan harapan biaya sekolah Agung menjadi lebih ringan. Hasilnya nihil. Bukan sama sekali tidak dipertimbangkan oleh pihak sekolah, di mana pun itu, yang namanya dispensasi atau kebijakan itu butuh syarat. Ada syarat-syarat yang bersifat administratif yang belum bisa Agung penuhi, sehingga Agung tidak sepenuhnya mendapat kebijakan dari sekolah.

Tunggakan biaya sekolah Agung lumayan besar. Bukan karena orangtuanya tidak peduli lagi. Tapi memang kenyataanya secara finansial keluarga ini kurang mampu. Itu baru Agung, belum lagi ada dua adiknya yang juga masih sekolah.

Alhamdulillah, setelah Dardi broadcast di beberapa jejaring sosial tentang Agung, banyak dermawan ASP yang membantu meringankan biaya sekolah Agung. Termasuk juga perlengkapan sekolahnya, sampai saya sendiri harus cari sepatu, padahal saya sangat tidak ahli cari sepatu cowok. 

Kabar terupdate yang saya dengar, Agung dapet ranking pertama setelah ujian semester kemarin. Saya berharap, prestasi itu tidak hanya untuk saat ini saja. Tapi sustainable sampai ketika dia lulus dari SMK Negeri 3 Palu. Bahkan prestasinya bisa terus berkembang sampai ia terjun ke dunia nyata, dunia kerja. Semoga. - @nonturomomi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan ragu untuk berbagi pikiran. Kami menanti komentar Anda.

RECENT POST..